Pikiran yang Berisik Saat Semua Diam

 



Malam selalu datang tanpa aba-aba. Tanpa suara, tanpa tanda. Tapi entah kenapa, justru di saat semua terasa diam, isi kepala malah seperti keramaian yang tak kunjung bubar.

Di malam-malam seperti itu, aku merasa menjadi orang asing bagi diriku sendiri. Berpelukan dengan malam, saling mendekat tanpa tahu apa maksudnya. Mungkin hanya butuh teman. Mungkin hanya butuh tenang. Tapi kenyataannya, justru semakin dekat, semakin banyak pertanyaan yang muncul.

Dari situ lahir sebuah puisi yang kubuat di salah satu malam yang sunyi:

Awan Biru

Aku dan malam
adalah dua orang asing
yang saling memeluk tanpa alasan.

Malam datang tanpa jam tangan,
hanya kau, Awan,
dan biru satu-satunya saksi
yang entah kapan ia akan mati.

Seperti rantai yang membelenggu kaki,
pikiran hanya kontradiksi
yang menyiksa diri.

Aku menulis puisi ini bukan untuk terlihat puitis, bukan pula untuk terlihat bijak. Puisi ini lahir dari rasa gelisah yang entah berapa lama sudah menetap di kepala. Aku yakin, bukan cuma aku yang pernah merasa seperti ini. Ada banyak orang di luar sana yang mungkin tertawa di siang hari, tapi menyimpan keributan dalam kepalanya ketika malam tiba.

Ada momen-momen ketika kita merasa lelah, bukan karena aktivitas, tapi karena isi kepala yang terlalu ramai oleh hal-hal yang belum selesai. Kita berpikir tentang masa lalu, tentang kesalahan-kesalahan yang sebenarnya sudah lewat tapi masih saja berputar di ingatan. Kita berpikir tentang masa depan, tentang ketidakpastian, tentang pertanyaan-pertanyaan seperti: "Kenapa hidup begini?" atau "Kenapa aku masih di sini?"

Dan sialnya, semua pikiran itu seperti rantai — bukan hanya mengikat langkah, tapi juga membebani hati. Rasanya seperti ingin pergi, tapi tidak tahu harus ke mana. Seperti ingin diam, tapi isi kepala tidak pernah mau kompromi.

Aku menulis ini juga sebagai cara untuk menerima bahwa tidak apa-apa jika kadang kita merasa tidak baik-baik saja. Tidak apa-apa jika pikiran berisik itu datang. Tidak apa-apa jika malam-malam kita diisi pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.

Tapi di balik semua kegelisahan itu, ada satu hal yang pelan-pelan aku sadari: setidaknya aku masih bisa mengenali perasaan itu. Karena yang lebih menakutkan adalah ketika kita sudah tidak lagi peduli. Ketika semua terasa hampa dan datar. Ketika bahkan gelisah pun tak lagi terasa. Dan sejauh ini, aku masih bersyukur, karena masih ada sesuatu di dalam diriku yang bicara, walau kadang menyakitkan.

Lewat tulisan ini aku ingin mengingatkan diriku sendiri — dan mungkin kamu yang membaca — bahwa semua orang sedang berjuang dengan pikirannya masing-masing. Kalau hari ini terasa berat, semoga besok sedikit lebih ringan. Kalau hari ini kita kalah oleh pikiran sendiri, semoga besok ada satu langkah kecil untuk menang.

Malam memang tak pernah membawa jam tangan, tapi kita masih punya waktu. Kita masih hidup. Dan itu sudah cukup untuk mencoba lagi besok.

Terima kasih sudah membaca. Semoga kita semua menemukan jalan pulang untuk diri sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Luka Ada Rindu: Cerita dan Puisi Tentang Penantian

Senjara

Dimana Langit Tak Pernah Sama