Senjara
Sering kali aku bertanya pada diri sendiri, mengapa kebanyakan orang hanya berpikir berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar, dan alami. Sedangkan aku, justru merasa ada sesuatu yang lebih sebuah cara berpikir yang tidak harus selalu berawal dari pengalaman nyata. Aku suka sekali menyendiri dan membiarkan pikiran melayang, memancing ide-ide yang kadang hadir tanpa sebab yang jelas.
Di saat seperti itu, banyak pertanyaan besar muncul dalam kepalaku. Pertanyaan yang kadang sulit untuk aku sampaikan ke orang lain, bahkan ketika aku ingin mencari jawaban dari mereka. Anehnya, ketika aku sendiri, aku ingat semua hal yang ingin aku tanyakan, namun begitu berada di tengah keramaian, semuanya sering menguap begitu saja.
Aku sadar, ini mungkin bagian dari karakternya diriku yang reflektif, penuh rasa ingin tahu, dan selalu haus akan makna. Aku ingin memahami apa di balik sesuatu yang tampak biasa, seperti lirik lagu yang menyentuh hati, yang membuatku bertanya mengapa dan apa yang ingin disampaikan penciptanya.
Namun, seringkali jawaban yang kuterima hanya berasal dari data dan fakta yang sudah ada, tanpa ada perspektif baru yang mampu menggugah batinku. Aku merasa, aku mencari sesuatu yang lebih dari sekadar jawaban biasa aku mencari makna yang bisa menghubungkan pikiranku dengan rasa yang aku alami.
Di tengah pencarian itu, aku teringat pada sebuah kata yang sederhana namun berat maknanya: pulang.
Ada sesuatu di pelabuhan bukan sekadar kapal yang bersandar atau ombak yang berbisik. Di sana, aku merasakan sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kata biasa. Seolah ada magnet tak terlihat yang menarik jiwa ini, mengajak untuk pulang, meski aku tak tahu pulang ke mana.
Pulang. Sebuah kata yang ringan tapi penuh teka-teki. Aku pernah membaca bahwa pulang bukanlah tempat, tapi rasa: tempat di mana ada seseorang yang memikirkanmu, dan dari sana, segala rindu bermula.
Pelabuhan itu mungkin bukan rumah, tapi sebuah jeda dalam perjalanan panjang. Sebuah ruang hampa yang penuh arti, di mana aku bisa berdiri tanpa harus tahu tujuan akhir. Karena mungkin, pulang bukan tentang tiba, tapi tentang mencari tentang perjalanan tanpa peta, yang malah membuat kita sadar betapa besar misteri diri sendiri.
Dan mungkin, perjalanan itu memang tak harus selalu tentang menemukan jawaban. Kadang, perjalanan justru tentang berani bertanya dan membiarkan ketidakpastian itu mengalir. Seperti kapal yang berlayar di lautan luas, tanpa peta pasti, hanya mengikuti arah angin dan gelombang.
Aku belajar bahwa rasa “belum pulang” bukan tanda kehilangan, tapi tanda bahwa aku sedang dalam proses menemukan diri yang lebih dalam. Pulang bukan sekadar soal tempat atau seseorang, tapi tentang bagaimana aku berdamai dengan ruang-ruang kosong dalam hatiku.
Ketika aku berada di pelabuhan itu, berdiri di antara kapal dan angin laut, aku merasakan ketenangan yang sulit dijelaskan. Mungkin pelabuhan itu adalah ruang sementara, tempat aku berlabuh untuk merenung dan menyusun kembali arah. Sebuah jeda yang memberi kesempatan untuk kembali bertanya: ke mana aku ingin pergi? Dan siapa yang aku ingin temui di perjalanan itu?
Dalam kesendirian, ide-ide bermunculan dan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab bergulir seperti ombak. Meski kadang aku lupa untuk mencatatnya, aku percaya tiap rasa penasaran dan tiap tanya yang muncul adalah bagian dari cerita yang sedang kutulis dalam hidupku.
Aku mulai menyadari bahwa setiap orang punya pelabuhan dan perjalanan masing-masing. Tidak semua orang perlu menemukan “rumah” yang sama, karena mungkin arti pulang adalah menemukan kedamaian di dalam diri sendiri meski itu berarti berlayar tanpa tahu kapan tiba.
Dan aku? Aku memilih untuk terus melayari samudra misteri ini dengan hati yang terbuka, membiarkan setiap tanya menjadi angin yang mendorong langkah kapal kecil ini ke arah yang belum kutahu. Karena di dalam ketidakpastian itulah aku menemukan ruang untuk tumbuh dan bermakna.
Komentar
Posting Komentar