Negara Ini Tak Buta, Tapi Tutup Mata
Sampai Kapan Kalian Memikirkan Diri Kalian Sendiri?
Di tengah hari yang biasa, saya membaca laporan tentang meningkatnya angka pengangguran di Indonesia tahun ini. Entah kenapa, laporan itu menusuk hati saya yang masih berstatus mahasiswa semester 6. Seketika, saya merenung: apakah akan ada kesempatan untuk saya ketika nanti lulus? Atau justru saya akan tertinggal?
Saya melihat teman-teman saya di kampung dulu—yang tidak kuliah—kini sudah bekerja di tambang, entah sebagai operator alat berat atau mekanik. Mereka sudah punya penghasilan sendiri, bahkan ada yang sudah mulai menabung dan membangun masa depan. Sedangkan saya? Masih duduk di bangku kuliah, mencoba bertahan dan berjuang dengan idealisme yang semakin diuji oleh kenyataan.
Jujur, saya merasa iri. Tak hanya karena mereka sudah punya penghasilan, tetapi karena mereka tampak lebih siap menghadapi hidup. Saya takut saat saya lulus nanti, mereka sudah jauh melesat—punya rumah, keluarga, bahkan anak. Apakah saya terlambat?
Saya semakin gelisah ketika melihat kondisi negeri ini. Indonesia yang saya cintai, tampaknya kian hari bukan membaik, malah bergerak menuju kemunduran. Banyak pejabat korup yang hanya memikirkan diri mereka sendiri. Mereka hidup dalam kemewahan, sementara rakyatnya berjuang setengah mati hanya untuk bertahan hidup. Mereka mengejar uang dan kekuasaan, mengorbankan harapan dan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat.
Saya kesal. Bukan sekadar kesal biasa, tetapi kesal yang datang dari keinginan untuk melihat negara ini lebih baik. Saya juga sadar, rakyat pun perlu bercermin—kita semua punya andil. Namun bayangkan, betapa indahnya jika rakyat dan pemimpinnya sama-sama mau berintrospeksi.
Sayangnya, itu hanya angan. Saya pribadi sudah berusaha menjadi warga negara yang baik, mematuhi aturan, menjalankan kewajiban, namun tetap saja dirugikan oleh keputusan-keputusan para pemegang kuasa. Sampai detik ini, saya sulit menaruh rasa percaya kepada siapa pun yang menjabat. Berkali-kali saya mencoba percaya, berkali-kali pula saya dikecewakan.
Sebenarnya, apa yang kalian cari, wahai para pemimpin?
Di sini, rakyatmu—kami—setiap pagi menuju pagi lagi hanya untuk berpikir, “Bagaimana caranya bertahan satu hari lagi?” Kami tak berani memikirkan hari esok karena kami bahkan tak yakin bisa melewati hari ini.
Saya menulis ini bukan semata-mata untuk mengeluh. Saya hanya ingin bertanya:
Sampai kapan kalian akan terus memikirkan diri kalian sendiri?
Kami di bawah ini juga manusia. Kami ingin hidup layak, ingin merasa aman, ingin merasa bahwa negara ini ada untuk kami—bukan hanya untuk segelintir elite yang berkuasa.
Komentar
Posting Komentar