Di Antara Logika, Ibu Kota, dan Isi Kepala
Pernahkah kamu bertanya-tanya, bagaimana rasanya kalau seseorang bisa menyeimbangkan emosi dan logikanya dengan sempurna?
Apakah dia akan menjadi pribadi yang baik? Ataukah sebaliknya?
Bagiku, orang seperti itu layak menjadi pemimpin—pemimpin yang penuh empati tapi tidak naif.
Namun, aku masih penasaran, apakah empati tinggi itu selalu dibarengi dengan kerapuhan yang membuat seseorang rentan?
Mungkin, jawabannya tersembunyi di antara labirin nalar dan hati yang kita jaga.
Ibu kota—katanya tempat penuh peluang dan harapan.
Tapi mengapa hatiku merasa seperti dipeluk oleh ibu tiri, bukan ibu yang hangat?
Bukankah seharusnya ibu kota seperti rumah yang nyaman, di mana kita bisa bernafas lega?
Ternyata, kenyataan tak selalu seperti yang kita bayangkan.
Keras dan dingin, ibu kota menyimpan sisi yang tak banyak orang mau akui.
Dan ketika aku menulis, apakah aku benar-benar jujur pada diriku sendiri?
Beranikah aku mencoret kegelapan yang ada di sudut jiwa?
Ataukah aku hanya menutupi dengan kata-kata yang rapi dan manis?
Sering kali, kita lupa bahwa tulisan adalah cermin paling jujur dari perasaan kita.
Namun menulis tentang diri sendiri memang bukan hal mudah—karena yang kita tulis bisa jadi bayangan yang tak ingin kita lihat.
Menyelami labirin nalar dan hati bukan soal menemukan jawaban pasti,
Tapi berani menatap, menerima, dan terus belajar memahami diri dan dunia di sekitar kita.
Karena di dalam perjalanan itu, kita mungkin akhirnya menemukan siapa kita sesungguhnya.
Komentar
Posting Komentar