Berbeda Itu Wajar, Tapi Kenapa Malah Jadi Sendiri?


Pernah terpikir nggak, gimana kalau sebenarnya selama kita hidup, nggak ada satu pun manusia yang benar-benar bisa mengerti apa yang kita rasa? Apa yang kita pikirkan? Rasanya kayak nggak mungkin, ya? Tapi nyatanya... itu sering terjadi. Lalu, siapa yang salah? Kita? Orang lain?

Mungkin... bukan keduanya.

Orang-orang bilang, berbeda itu wajar. Katanya juga, perbedaan adalah keunikan. Tapi apa artinya "keunikan" kalau akhirnya kita malah merasa sendirian? Bukankah pada dasarnya setiap orang ingin dimengerti? Ingin dipahami, baik perasaan maupun logikanya—tanpa dihakimi.

Saya pernah membaca sebuah kutipan di buku:
"Jangan berharap untuk dimengerti kalau kamu sendiri tidak mampu memberi pengertian. Karena, sebaik-baiknya pengertian adalah mengerti untuk tidak memaksa orang lain."

Kalimat itu terasa masuk akal... tapi di sisi lain, apakah kita akan terus seperti ini? Terus jadi pihak yang memberi pengertian untuk orang lain, tapi lupa bagaimana caranya dipahami? Kalau begitu, siapa yang akan mengobati luka-luka kita?

Kadang rasanya seperti jadi dokter yang sibuk menyembuhkan luka orang lain, tapi lupa mengobati lukanya sendiri. Akhirnya? Luka itu membusuk. Pelan-pelan mati rasa.

Dan yang paling menyakitkan, ketika kita berusaha jujur menceritakan luka itu, malah dibanding-bandingkan:
"Cuma gitu doang? Aku juga sering ngalamin lebih parah dari kamu."
Padahal... tiap orang punya beban masing-masing. Masalah tiap orang punya kadarnya sendiri, dan itu sudah diatur oleh Tuhan.

Ironisnya, ciptaan-Nya sering lupa cara bersikap seperti Sang Pencipta. Tuhan saja mau mendengarkan doa kita, meski isinya itu-itu saja, diulang-ulang, setiap malam dengan linangan air mata.

Tapi manusia?
Sering merasa paling tahu segalanya. Merasa paling kuat. Merasa berhak mengendalikan hidup orang lain.
Padahal tidak semua orang bisa diperlakukan seperti itu.

Belajarlah...
Untuk mendengarkan.
Untuk menghargai.
Untuk menerima.

Kadang, menjadi manusia bukan soal siapa yang paling mengerti. Tapi siapa yang mau duduk diam dan benar-benar mendengarkan.


Pernahkah kamu merasa seperti itu juga?
Pernahkah kamu merasa seperti dokter yang sibuk menyembuhkan luka orang lain, tapi tak pernah tahu ke mana harus membawa lukamu sendiri?

Kalau iya, menurutmu...
Apa sebenarnya yang kita cari: Dimengerti, atau diterima apa adanya meskipun tak sepenuhnya dipahami?

Tulis pendapatmu, aku pengen dengar ceritamu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Luka Ada Rindu: Cerita dan Puisi Tentang Penantian

Senjara

Dimana Langit Tak Pernah Sama